Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Dieng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dieng. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Februari 2017

Tour de Jawa: Gelandangan Solo-Dieng

Kawasan Candi Arjuna, Dieng
Kawasan Candi Arjuna, Dieng lokasi pertama yang aku kunjungi di Dieng
Lupakan segala rencana, terima aja nasib kalau sudah begini. Hari ini adalah ulang tahunku, dan sialnya aku justru terjebak di dalam terminal di kota presiden kita pernah menjabat sebagai walikota. Aku berandai-andai, jika sesuai rencana maka malam ini aku tentu meringkuk di tempat tidur salah satu penginapan di Dieng. Dan paginya, aku mungkin telah gagah berdiri menyambut sinar matahari pagi dari Puncak Sikunir. Ah gebleg, kalau udah begini memang satu-satunya jalan ya menikmati nikmatnya tidur di terminal. Emang enak mas? Gak usah tanyaa!!
 

Hari ke-3: Dinginnya Bangku Terminal Tirtonadi Solo
Aku menarik kepalaku lebih dalam di balik sleeping bag hijau gelap. Bangku jati panjang di depan masjid terasa keras di punggungku. Untung ruangan ber-AC ini masih terasa nyaman untuk berbaring. Agak dingin memang, setidaknya jika dibandingkan ruangan dalam masjid yang terlihat lebih nyaman untuk berbaring karena ada karpet tebal di dalamnya. Sayang pengumuman di teras masjid jelas terpampang: Dilarang Tidur di Dalam Masjid. Di seberang seorang bapak paruh baya terlelap dengan topi menutup mukanya, suara dengkurnya sedikit lebih lembut dari gergaji.


"Hari ini tidak bis jurusan Wonosobo yang masuk terminal, mas". Kalimat yang kudengar dari salah satu petugas di terminal Tirtonadi Solo membuatku lemas, selemas gurita setelah ketangkep dimasukin keranjang. Bangke betul, aku tidak menuruti saran mas Eko yang meminta supaya aku ke Dieng lewat jalur Yogyakarta.
Ternyata bis jurusan Solo-Wonosobo sedikit beroperasi. Kalau secara jadwal sih harusnya dua kali sehari, tapi sudah berbulan-bulan hanya dilayani satu trayek saja.

Dan disinilah akhirnya aku hari ini, mendekam di balik sleeping bag di atas bangku kayu dalam terminal bis Tirtonadi Solo. Betewe, jangan bayangin terminal bis Tirtonadi Solo ini seperti umumnya terminal bis di seluruh Indonesia. Ho-ho-ho, jauh bingit.. terminal Tirtonadi Solo ini suasananya udah kayak bandara. Ruangannya full AC dan bersih. Jadi kalau kamu musti terdampar di terminal seperti ini, masih enak buat tiduran. Lumayan, dengan bayar karcis masuk seribu rupiah bisa numpang tidur. Emang sih kalau mau mandi atau BAB tengah tetep harus bayar tapi gak mahal. Kalau tidur takut barangnya hilang gimana? Gampang, ada kok tempat penitipan barang sampai motor juga bisa titip di sekitar terminal.

Sebenarnya pagi aku sudah mau keluar dari homestay pak Isni di pantai Klayar setelah mampir dulu ke Tanjung Klayar (baca di sini), tapi karena arah baliknya lewat Gua Gong ya sekalian aja aku mampir kesana. Untungnya hari Senin jadi Gua Gong kondisinya sepi. Akhirnya aku justru siang hari baru sampai di Punung. Punung itu pertigaan jalan besar yang menuju ke Klayar.

Cerita tentang Gua Gong, gua ini sudah ditata rapi bahkan dengan tata cahaya warna-warni. Pencahayaan itu mungkin salah satu untuk membuat gua Gong lebih menarik wisatawan, tapi untukku justru membuat Gua Gong tampak seperti gua artifisial. Lain waktu aku mungkin bisa menuliskan tentang Gua Gong tersendiri.

Hari ke-4: Akhirnya sampai di Dieng
Pagi jam tiga dini hari aku bertanya ke petugas kalau mau ke Wonosobo. Oleh petugas itu, aku diarahkan supaya naik bis jurusan Semarang, nanti turun di Bawen dan berganti bis menuju ke Yogyakarta lewat jalur Magelang. Karena jalur busnya berbeda aku harus pindah ke jalur bis yang berangkat ke arah barat. Ternyata kondisi terminal jalur barat berbeda, di sini tidak ada AC melainkan hanya kipas angin. Denger-denger sih, yang jalur barat emang terminal aslinya yang dipugar, berbeda dengan terminal jalur timur yang memang baru dibangun.

Monumen batu Dieng Plateau
Tempat kekinian untuk bukti foto telah ke Dieng, aku gak punya :(
Asyik menunggu, aku diajak ngobrol bapak-bapak yang ngaku mantan pelaut yang sudah insaf.. eh yang sudah berhenti. Lagak-lagaknya sih penipu walaupun sampai terakhir tidak berhasil menipu aku, hilang-hilangnya duitku ya bayarin ongkos bis bapak itu yang pura-pura ketiduran. Kok yakin kalau itu penipu padahal aku tidak tertipu? Bukan tidak tertipu tapi tidak berhasil ditipu.. Aku bahkan sampai turun di Bawen juga tidak menuduh bapak tua itu penipu, mungkin dia hanya bisa mencari uang lewat menipu. Tapi dari pengalamanku ini, aku berpesan hati-hati di terminal jika didekati orang yang menunjukkan sikap baik tidak sewajarnya. Tapi jika ada yang kena tipu.. ya bersabarlah, memang belum rejeki hehehehe...

Turun di Bawen masih pagi banget, sehingga aku masih sempat ngopi pagi di pinggir jalan depan terminal Bawen. Dari Bawen aku naik bis jurusan Semarang-Purwokerta yang lewat Wonosobo. Kebetulan saat ngopi dapet temen ngobrol yang memang biasa mondar-mandir Solo-Purwokerto jadi aku ikut saja saran dia. Sekitar jam lima pagi, aku bis jurusan Semarang-Purwokerto dan turun di terminal Mendolo. Dari terminal mendolo aku berganti dengan angkutan kecil menuju kota Wonosobo.
Aku sampai di kota Wonosobo sekitar jam setengah sembilan pagi, dan langsung berganti naik kecil ke arah Dieng. Setelah setengah jam melewati jalan yang berkelok-kelok dan terus menanjak akhirnya aku turun di pertigaan Dieng. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan saat ini ketinggian 2.200 mdpl.


Hari ke-1 di Dieng: Semalaman Tiduurrr....

Telaga Merdada yang sedang gerimis dan berkabut
Ada yang salah dengan kedatanganku kali ini, setidaknya dari 2 versi. Versiku, bulan Juli ada bulan yang sedang puncak dingin-dinginnya di seluruh wilayah Indonesia sebelah selatan. Maka saat inilah Dieng juga berada pada puncak dinginnya. Bayangkan, suhu pada siang hari bulan ini sama dengan suhu yang kurasakan di Bromo saat malam hari di bulan Desember.
Versi orang setempat, aku datang terlalu cepat karena acara festival Dieng Culture Festival jatuhnya tanggal 5-7 Agustus 2016. Ah sebodo amat, pokoknya tahun ini yang penting aku sudah sampai ke sini. Dieng Culture Festival biar jadi jadwal trip selanjutnya.

Tujuan pertama itu tempat menginap, dan berhubung mata pertama tertuju ke Dieng Plateau Homestay ya akhirnya masuk ke situ dulu. Hargany masih normal 250ribu per malam, udah coba tawar tapi ya dapetnya cuma turun 200ribu. Kebetulan homestay juga menyewakan sepeda motor yang dikenakan biaya 100ribu per hari.

Telaga Cebongan, Dieng
Danau Cebongan di bawah Bukit Sikunir
Ya udahlah, dalam kondisi dingin begini malas kalau harus cari-cari homestay lagi. Kelar urusan penginapan, aku mampir cari makan. Berhubung di Dieng, salah satu makanan khasnya itu Mi Ongklok ya itu yang aku cari. Ternyata di depan penginapan ada warung yang jual Mi Ongklok. Mie Ongklok ini sama seperti mi godok, perbedaan di cara membuatnya yang pake sejenis keranjang bambu untuk meng-onklok mie dan sayuran. Kuahnya segar dan kental karena menggunakan bumbu ebi dan kanji.

Kelar urusan makan, karena masih siang aku berencana jalan-jalan. Sayang mendung dan gerimis tipis berseling datang. Sebentar matahari nongol, sebentar mendung yang ngeksis campur gerimis yang bikin geli-geli adem.. jadi pengen... #kompreskepala. Aku bener-bener tidak menggunakan informasi internet, lebih sekedar mengandalkan informasi percakapan dari orang-orang yang aku temui atau pemilik penginapan. Aku kali ini memang ingin benar-benar menikmati perjalanan sebagai seharusnya perjalanan kesasar yang tidak butuh melihat peta dan lain-lain.

Telaga warna dari Bukit Ratapan Angin
Ada dua lokasi yang aku kunjungi hari ini: telaga Merdada dan kawasan Candi Arjuna. Karena dua lokasi itu disebelah kanan dari homestay. Rencana besok aku baru mengeksplore sisi kanan homestay. Perhitunganku dalam tiga hari ini aku bisa mengunjungi beberapa lokasi yang cukup dikenal terlebih dahulu. Tapi kondisi Dieng yang kelewat dingin bener-bener aku menyerah sebelum malam. Berjibaku dengan tangan yang serasa memegang es di stang motor, hujan tipis juga membuat tanganku memucat lebih cepat. 

Malam ini aku berjibaku dengan sleeping bag yang terbungkus selimut. Sleeping bag yang kupakai cukup membantu menghalau dingin karena kasur tipis dan selimut di homestay justru bikin adem tambah awet. Dapat dibilang aku semalaman bergelung dalam sleeping bag dalam gulungan selimut. Hanya sekali dua kali aku harus keluar karena desakan alami dari bawah. Aku bahkan kehilangan minat untuk mencari makan malam. Padahal Purwaceng di suasana begini pasti nikmat sekali. 

Hari ke-2: Rencana Nginep Dua Malem Batal
Puncak pertama Sikunir, tempat melihat sunrise tidak selapang di puncak kedua
Dalam suasana yang aduhai dinginnya aku harus berjibaku bangun pagi agar tak ketinggalan acara melihat matahari terbit dari puncak Sikunir yang aku tuliskan di sini. 
Hari ke-2 aku lumayan mendapatkan kesempatan mengunjungi beberapa lokasi tanpa terganggu banyak keramaian, karena tiga hal: bukan hari libur, orang banyak yang menahan liburan ke Dieng menunggu sekalian pas Dieng Culture Festival, dan hari ini cuaca bisa terbilang cerah.

Jadi pagi-pagi buta aku sudah ikut antrian berdiri di puncak Sikunir untuk tidak melewatkan pemandangan matahari terbit yang aku tulis di sini. Aku bisa dibilang termasuk rombongan terakhir yang turun ke bawah. Seperti biasa tempat yang sudah nge-hits seperti ini banyak yang naik tak lebih dari sekedar "aku sudah sampai kesana, kamu kapan?".

Bagian telaga warna yang jarang didatangi orang
Dari Sikunir aku sempat duduk dan berjalan memutar sebentar di Telaga Cebongan. Sayang aku tidak sempat mencari spot dari Puncak Sikunir yang bisa memotret telaga Cebongan dari atas.

Dari Cebongan aku jalan balik ke arah homestay dan mengunjungi Kawah Sikidang, aku belum membuat cerita sendiri tentang Kawah Sikidang. Sebenarnya hari sebelumnya saat masuk ke Kawasan Candi Arjuna itu tiketnya plus dengan Kawah Sikidang. Hanya karena kemarin gerimis dan hujan silih berganti gak jelas jadi cuma bisa muter di candi Arjuna-nya. Setelah dari Kawah Sikidang barulah aku masuk ke kawasan wisata Telaga Warna yang sudah aku tulis di sini.

Tapi terus terang aku akhirnya menyerah bertahan sehari lagi untuk berjibaku dengan dingin, padahal setelah aku pikir-pikir sayang juga aku tidak menambah sehari. Kalau masalah dingin, kata orang Dieng sih saat ini belum apa-apanya. Jika puncaknya suhu bisa mencapai minus 4 derajat bahkan kadang ada fenomena bun upas yang menjadi mala petaka buat petani.

Dan di sinilah kakiku berlabuh di hari kelima, tergeletak di dipan dengan kipas angin yang bunyinya agak berdecit kurang oli di Yogyakarta. Setelah sukses merayu mas-nya yang jaga homestay di Dieng buat ngembaliin duitku yang sudah kubayar di awal.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 06 Oktober 2016

Dieng: Mengitari Telaga Warna

Telaga Warna Dieng
Siapa yang tidak betah berlama-lama di telaga Warna?
Sepiring jamur goreng dan kentang goreng yang baru selesai ditiriskan menerbitkan air liurku. Tak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan kedua makanan itu. Harga seporsi hanya lima ribu rupiah untuk sepiring jamur sangat murah menurutku. Apalagi jamur-jamur masih segar sebagaimana kentang gorengnya. Sayang tak ada 'Purwaceng' yang begitu identik dengan bumi Dieng. Tapi kopi panas mampu menggantikan 'Purwaceng' menikmati pemandangan telaga yang keren tiada duanya. Aku mereguk kopi pelan-pelan sambil membiarkan seluruh panca inderaku menangkap kesan seluruh lanskap tanah ini.

Beberapa orang berlalu lalang tapi tak terlalu ramai, itulah untungnya mengunjungi tempat-tempat wisata yang sudah sangat terkenal di saat bukan hari libur. Ibu penjual yang masih mudah itu sendiri bertutur jika hari-hari seperti ini sepi bahkan rumah makan dan penjaja makanan juga tidak banyak. Berbeda pada hari libur, telaga warna ini sangat penuh dengan wisatawan.Untung ibu muda yang aku lupa menanyakan namanya masih berjualan di hari seperti ini, sehingga aku bisa menikmati jamur goreng yang nikmat.

Telaga Warna dan Telaga Pengilon

Jembatan kayu di telaga Warna Dieng
Telaga Warna dalam kesunyian pagi
Negeri di atas awan ini menyimpan sejuta pesona dan lokasi-lokasi yang tak habis dieksplorasi sehari dan Telaga Warna ini salah satunya. Telaga warna telah menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda yang melingkupi Dieng itu sendiri berdiri.
Jika kamu menyempatkan ke telaga warna, cobalah untuk mengitarinya. Jangan hanya mencari spot mojok seperti yang aku lihat dari pasangan-pasangan yang datang. Yang mojok pasti tidak penting lokasinya tapi kita berduanya, halah. Ciee.. ciee.. ada yang ngiri cuma jalan sendiri #keplakkepalapakesendal.


View salah satu sudut telaga Warna
Batas akhir jalan di telaga Warna
Anyway by the way, pengalaman aku selama ini orang Indonesia itu lebih suka milihnya trek yang gampang. Kayak dulu pas di pulau Komodo, gak ada orang Indonesia yang ngambil trek adventure cuma para bule yang mau ambil trek adventure. Sebagian besar ambil short trek termasuk aku #kelakuansama... ampuunn kaka, itu karena aku bareng my big bos yang agak bulat di depan jadi kalo ambil medium trek nanti ujung-ujungnya aku yang disuruh gendong hihihihi #jurusberkelit.

Kalau dari pintu masuk, sebagian besar langsung ke kanan ke arah bangunan terbuka atau sekalian lanjut ke batu pandang. Aku yang sendiri dan gak punya guide awalnya juga bingung tapi karena niatnya mau keliling jadi pilih belok kiri. Biasalah, biar dikira anti mainstream. Ternyata setelah seratusan meter jalan beton ke kiri abis dan berganti jalan tanah. Tidak ada yang lewat karena ada tumpukan tanah merah menutupi jalan, sepertinya longsoran baru.

Taman bunga di telaga Warna Dieng
Taman bunga di telaga Warna
Padahal jika mau melewati longsoran dan masuk ke jalan kecil nanti bakal ketemu sebuah bangunan kecil dan ada jembatan kayu kecil beberapa meter ke tengah danau. View dari lokasi ini tidak kalah ikonik dibandingkan melihat dari batu pandang. Aku beruntung karena cuma sendiri di jembatan kayu, jadi bisa agak lama bersantai. Apalagi saat ini cuaca jauh lebih cerah dibanding kemarin. Hawa dingin sudah jauh berkurang, cuaca juga jauh lebih terang dibanding kemarin yang hampir dipenuhi kabut dan hujan seharian. Warna hijau telaga warna memang sepertinya berasal dari belerang, aku masih bisa sama mencium bau belerang diairnya. Dalam kondisi seperti ini, telaga warna juara banget. Telaga hijau terang yang airnya tenang, duduk sendirian di jembatan kayu dengan angin sepoi-sepoi.. yang kurang cuma kopi.. hah!! Kopi mana kopiii!!!  sialan, suasana begini tanpa kopi memang rasanya kurang.

Waktu menyusuri jalan kecil sempat bertemu salah seorang penduduk naik motor bebek dengan kaki bersepatu bot, mungkin dari kebun. Waktu aku bertanya arah malah menawariku mampir ke desanya. Rupanya desanya masuk desa wisata, aku lupa namanya. Udah aku ubek-ubek semua koleksi foto gak nemu satupun foto papan petunjuk padahal aku inget banget waktu itu sempat memfotonya. Ah, sudahlah. 

View telaga Pengilon Dieng
View salah satu sudut telaga Pengilon, Dieng
Memutari telaga Warna ternyata juga harus memutari telaga Pengilon. Telaga yang warnanya berbeda dengan telaga Warna ini memang terpisah namun tidak benar-benar terputus ada sedikit bagian yang masih sedikit terhubung walaupun lebih banyak ditumbuhi rumput tinggi, namun tetap tidak bisa dilewati. Ada sisa jembatan yang dulu pernah dibangun tapi sekarang sudah rusak. Itu juga mungkin salah satu alasan kebun bunga kelihatannya sepi, mungkin karena jarak yang harus ditempuh jadi jauh tanpa jembatan itu.

Berbeda dengan telaga Warna yang berwarna hijau kadang tosca (tergantung terang dan posisi cahaya matahari), telaga Pengilon ini warnanya cenderung pucat gelap. Tanahnya yang lebih terasa berlumpur sempat sukses membenamkan salah satu kakiku ke dalamnya. Warna gelap inilah yang jika airnya sedang tenang dengan mudah akan menciptakan bayangan layaknya kaca.

Bukit Sidengkeng 
Penampakang telaga Warna dan telaga Pengilon dari bukit Batu Pandang
Nama itu yang tertera di papan petunjuk, tapi akan lebih dikenal dengan nama kerennya bukit Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin. Dari atas bukit ini memang tempat yang paling pas untuk melihat jelas kedua telaga.
Ternyata untuk naik ke bukit Sidengkeng harus membayar karcis retribusi lagi. Rupanya lokasi bukit ini dikelola sendiri oleh desa (BUM Desa), berbeda dengan retribusi di pintu masuk telaga Warna yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Seingatku tiket masuknya 20ribu. Untung waktu itu masih cukup sepi sehingga aku bisa berlama-lama di tempat itu.

Ada satu batu menonjol dan sebuah bangunan berdiri untuk melihat kedua telaga. Aku membayangkan jika sedang ramai tentu akan sulit untuk berlama-lama di sini kecuali kamu mau dipelototi sama pengunjung lain. Ya, risiko lokasi pandang yang terbatas.
Di bagian samping ada jembatan merah putih yang biasanya jadi lokasi favorit uji nyali karena kayunya tidak rapat dan hanya terikat pada tali. Sayang aku sendiri tidak mencoba kesana, sayang sih udah keluar duit cuma nongkrong di batu pandang doang. Katanya sih hari begini gak ada yang jaga jadi belum bisa dipakai.

Gua-gua Tempat Persemedian
Jalan menuju ke gua-gua semedi
Nah ternyata di bagian tengah daratan pemisah antara telaga Warna dan telaga Pengilon itulah terdapat beberapa gua yang dulu katanya sering digunakan untuk bersemedi. Ada tiga gua di sana: gua Jaran, gua Semar dan gua Sumur. Gua-gua ini menyimpan cerita mistis sendiri-sendiri.
Yang pertama gua Jaran (kuda), yang katanya menjadi tempat pertapaan Resi Kendalisodo. Di sini ada legenda yang menceritakan bahwa pada suatu hari saat hujan sangat deras ada seekor kuda yang kebingungan mencari tempat berteduh. Dia berlari kesana kemari sampai akhirnya menemukan lubang besar lalu masuk ke dalamnya, Anehnya saat keluar keesokan harinya sudah dalam keadaan bunting. Dari legenda itu sekarang ada sebagian orang percaya bahwa gua ini bisa membantu wanita yang ingin mempunyai keturunan dengan cara bersemedi di tempat ini. Entah kalau yang bersemedi laki-laki, mungkin jadi bunting juga. #dikeplakpenjagadanau

Kalau gua Sumur ini di dalamnya ada kolam kecil yang airnya sangat jernih dan dingin. Air ini dikenal dengan nama Tirta Prawitasari. Air ini sering dimanfaatkan umat Hindu dari pulau Bali untuk upacara Muspe atau Mabakti. Gua ini yang punya kaitan erat dengan keberadaan telaga Warna dan telaga Pengilon. Suasana di tempat yang dipenuhi rerimbunan pepohonan ini terasa mistis. Andai saja ada kabut tipis turun, pasti tempat ini akan terasa lebih mistis.

Sayang aku tidak bisa masuk ke dalam karena pintu masuknya masih digembok. Nah ini ruginya saat datang di waktu sepi seperti ini. Di satu sisi memang jadi bebas menikmati tanpa melihat hiruk pikuk orang berlalu lalang, jeleknya kadang-kadang penjaga lokasi juga enggan datang. Mungkin juga gajinya kurang.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 September 2016

Matahari Pagi dari Puncak Sikunir

Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.

Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto. 

Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.

Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'

"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.

Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.

Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.

Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.

Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).


Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.


Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.


Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.


Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.

Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.

Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.


Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.

Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir. 

Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.

Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.

Catatan:
  1. Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
  2. Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
  3. Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya