Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label air terjun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label air terjun. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 September 2019

Matahari Terbit di Puncak Kelimutu

Sunrise dari puncak KelimutuCahaya kekuningan tengah menghiasi langit timur, tapi matahari tak juga menunjukkan diri. Matahari dan kabut tipis di pagi ini seakan sedang bermain-main dengan harapan puluhan pasang yang sedang menanti detik-detik keajaiban pagi dari sang surya. Beberapa detik kemudian... momen itu terjadi. Sepotong cahaya bulat kuning muncul dari balik horison langit timur. Pendaran kuning cahaya matahari berpadu harmoni dengan warna biru hijau danau Kelimutu di depanku. Segelas kopi panas di tangan tertahan diseruput, sepasang bule saling mempererat genggaman tangan dengan senyum merekah, dan seorang jomblo yang duduk terdiam di atas tugu dengan sebotol air ditangannya. Tak lama kemudian kesunyian sesaat ini dipecahkan dengan bunyi klik.. klik.. kamera yang dijepretkan, pertunjukan sesaat telah selesai.


"Matahari pagi adalah keajaiban yang mengingatkan kita bahwa hari ini kita telah diberikan keberkahan satu hari lagi untuk menghirup segarnya udara dan kidung alam yang indah"


Segelas kopi instan panas diserahkan kepadaku oleh seorang bapak tua penjual minuman. Aku menarik kerah jaket lebih tinggi menghindari rasa dingin dari angin yang berhembus. Duduk sebentar setelah beberapa waktu berjongkok menghadap layar kamera di depan pagar untuk memotret, ada kelegaan setiap kali momen seperti ini. Sesuatu yang tak bosan kulakukan berulang kali dimanapun.

Cahaya kuning sesaat mulai berubah lebih terang, bayangan pepohonan yang menghitam sudah berubah menjadi hijau. Bambang dan Adhyt yang sebelumnya bareng aku sudah berjalan entah kemana. Masing-masing kita bercanda dengan benaknya sendiri. Aku sendiri masih sibuk berbagi dengan segelas kopi panas dan kabel shutter yang terhubung di kamera Fuji di atas tripod kecil.

Perjalanan Tengah Malam Buta
Jam setengah dua dini hari aku sudah membangunkan Adhyt dan Bambang, rencana untuk dapat menikmati matahari terbit di Kelimutu tidak boleh gagal. Mereka masih setengah mengantuk sebenarnya, maklum rombonganku baru sampai kemarin. Sekitar jam dua aku sudah meluncur dari Ende ke arah Timur menggunakan mobil mas Tommy. Pemilik hotel Satarmese ini asli baik banget, makanya kalau aku ke Ende selalu nginep di sana. Bukan promo lho, kalian bisa buktikan sendiri kalau kebetulan bermalam di Ende.

Jalan malam hari dari Ende ke Moni memang harus hati-hati karena kondisi jalannya berkelak-kelok menyusuri punggungan bukit. Sebelah kanan didominasi oleh jurang sementara sebagian besar jalan belum ada penerangan jalan yang memadai. Adhyt sendiri sudah njiper (baca: kecut) untuk menyetir dengan kondisi seperti itu di malam hari, plus ini baru pertama kalinya dia ke Kelimutu. Jadi perjanjiannya, untuk berangkat aku yang nyetir sedangkan pulangnya gantian Adhyt yang nyetir.

Dalam perjalanan dari Ende ke Kelimutu ini ada pemandangan unik yaitu di pasar Nduaria yang berada di sepanjang pinggir jalan. Malam itu pasar tentu tutup dan tidak ada yang menjual. Namun mereka membiarkan sayur-sayuran, buah-buahan dan barang-barang jualan lainnya di atas meja terbuka begitu saja. Kok tidak takut diambil orang? Hal itu menggambarkan bahwa di daerah ini masih sangat aman. Kalau di tempat lain, haduh jangan-jangan besok tinggal meja kosong.


Jam setengah empat pagi aku sudah sampai di Moni, tentu saja masih terlalu sepi. Tak lebih dari setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan gerbang masuk Kelimutu. Angin terasa dingin menusuk tulang. Bambang yang lupa tidak membawa jaket tenang saja menggulung badannya dengan selimut yang dia bawa dari hotel.

Ternyata palang pintu masih terpasang dan tak ada petugas, di samping gerbang ada sebuah papan petunjuk yang menjelaskan jika jam buka Danau Kelimutu 05.00 - 17.00 WITA. Fix, kita harus nunggu setengah jam lebih. Untung di samping gerbang ada sabuah warung yang memang buka 24 jam. Dih kebayang kayak apa rasanya buka warung di tempat seperti ini. Lumayan sambil menunggu palang dibuka kami dapat menikmati minum kopi dan mie instan.

Sunrise di Puncak Kelimutu
Beberapa rombongan telah berangkat naik terlebih dahulu mendahuluiku, karena aku masih sholat Subuh dulu di salah satu ruangan kantor yang jagawana yang ada di area parkiran. Bulan Mei memang mulai memasuki musim dingin di Nusa Tenggara Timur, ditambah Kelimutu sendiri berada di ketinggian.

Dalam remang kegelapan kami berjalan masuk ke jalan setapak di dalam yang cukup lebat menuju ke puncak Kelimutu. Saat itu sedang bulan purnama, cahaya bulan yang menyinari balik pepohonan cemara cukup membantu terutama di area yang tidak ada penerangan.

Karena masih gelap, aku memutuskan untuk langsung menuju tugu yang merupakan titik pandang tertinggi untuk bisa melihat ketiga danau dengan leluasa sekaligus merupakan titik terbaik untuk melihat matahari terbit.


Dari pengalamanku selama ini memang yang lebih niat datang pagi-pagi buta untuk melihat matahari terbit biasanya para bule. Wisatawan lokal sering kali datang ke Kelimutu setelah terang. Namun kali ini aku melihat beberapa rombongan yang datang justru turis dari negeri China. Ada rombongan bis segala yang didominasi golongan tua. Ada juga beberapa muda-mudi yang memisahkan diri dari rombongan tua, entah mereka rombongan yang sama atau mereka datang sendiri.

Selain turis dari China, ada pemandangan unik lain saat itu. Danau Kelimutu yang berdiri sendiri yang disebut "Tiwu Ata Mbupu" tidak tampak airnya karena dipenuhi kabut di bagian dalamnya. Ini berbeda dengan kedua danau lainnya: "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan justru cerah tanpa kabut. Tulisan tentang cerita perjalananku ke Kelimutu sebelumnya sudah kutuliskan di sini.

Mampir di Air Terjun Murundao
Aku turun sekitar jam setengah tujuh kurang dan sempat mampir sebentar ke dua danau yang saling berdekatan "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang saat itu berwarna biru tosca dan hijau. Tak lain untuk memenuhi permintaan Adhyt yang ingin melihat lebih dekat kedua danau. Di depan titik pandang yang telah dibangun pembatas itu telah ramai rombongan anak sekolah yang mungkin sedang ada acara Darma Wisata.

Karena hanya makan mie tadi pagi tentu saja kami kelaparan dan memutuskan mencari tempat makan di sekitar Moni. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan, nyaris tidak ada tempat makan yang sudah buka sepagi ini. Untunglah setelah menyusuri kawasan Moni akhirnya menemukan sebuah tempat makan yang letaknya dekat dengans sebuah air terjun. Namanya air terjun Murundao. Dari pinggir jalan ada jalan turun sekitar seratus meteran tangga menurun sudah akan melihat air terjun itu. Pemandangannya? Yah so-so gitulah. Lagian kalau ada pemandangan air terjun sebagus itu di pinggir jalan besar pasti sudah ramai dikunjungi orang dari dulu.


Tips-tips untuk yang ingin ke Danau Kelimutu:
  1. Patuhi larangan-larangan yang ada di kawasan Danau Kelimutu seperti dilarang membuang sampah, dilarang mengambil pohon-pohon yang dilindungi, dilarang berdiri di luar pagar (terutama yang ada di dekat dua danau berdekatan).
  2. Jika ingin melihat matahari terbit disarankan menginap di daerah Moni. Namun jika menginap di Ende, usahakan sudah berangkat sebelum jam 3 pagi karena jalur Ende-Kelimutu merupakan jalan Trans Flores yang seringkali dilewati truk-truk besar.
  3. Bawa senter, karena jalur perjalanan menuju puncak Kelimutu melewati hutan yang penerangannya kurang memadai. Mungkin sekarang bawa hape sudah bisa menggantikan senter, tapi lebih nyaman jika menggunakan senter tersendiri.
  4. Bawa pakaian hangat termasuk jaket karena Danau Kelimutu berada di ketinggian yang tentu saja udaranya dingin. Apalagi saat naik ke atas saat pagi buta tentu akan terasa lebih dingin. Akan lebih bagus jika memakai topi yang bisa menutup telinga, kaos tangan dan kaos kaki.
  5. Jika perjalanan bersama teman, pertimbangan waktu yang dibutuhkan untuk naik. Walaupun jalur perjalanan ke atas Kelimutu tidak terlalu sulit mungkin beberapa orang akan merasa kecapean terutama saat menaiki anak tangga menuju tugu tertinggi.
Teman perjalanan kali ini: Adhyt dan Bambang
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 07 April 2019

Cunca Wulang: Keindahan yang Tidak (Lagi) Murah


Aliran sungai yang bening mengalir diantara celah-celah tebing tertangkap jelas dari jembatan gantung ini. Berdiri di jembatan gantung selalu memberikan sensasi menyenangkan bagiku. Walaupun tidak setinggi suspension bridge di Taman Nasional Gunung Pangrango, terlalu jauh kalau harus membandingkannya dengan jembatan gantung di air terjun Cunca Wulang ini. Walaupun begitu ayunan jembatan ini tetap memberikan sensasi jantung berdesir. Jembatan ini salah satu membedakan Cunca Wulang dahulu dibandingkan dengan saat ini. Baca ceritaku di Cunca Wulang dulu disini.

"In every walk with nature one receives far more than he seeks" --- John Muir

Cunca Wulang artinya Air terjun bulan. Mengapa disebut begitu? karena air terjun ini jatuh ke dalam sebuah tebing batu berbentuk lubang seperti lubang. Karena kondisinya seperti, sulit melihat penampakan air terjun untuk dari atas sampai ke bawah. Untuk bisa melihat utuh ada dua cara:
  1. Naik ke atas air terjun dan berdiri cukup dekat ke dinding tebing. Jangan kuatir, dinding air terjun ada batu padat yang tidak akan longsor oleh injakan kalian.
  2. Ini cara yang paling nikmat tapi basah. Jadi turun ke dalam sungainya dan berenang menyusuri sungai sampai masuk ke dalam dinding batu berlubangnya.
Namun, walau tidak bisa melihat air terjun secara utuh namun pemandangan aliran sungainya tetap indah karena melewati tebing-tebing batu yang pepohonan yang rindang.

Perjalanan ke Lokasi
Awalnya aku ingin ke Pulau Padar, cuma karena waktunya tidak nyambung dengan jadwal keberangkatan pesawatku. Pembatalan Padar ini akhirnya aku membuatku memilih lokasi lain yang bisa diakses melalui jalur darat.

Dengan berbekal pinjaman motor dari seorang teman, perjalanan ke lokasi aku tempuh hampir satu setengah jam mungkin lebih karena aku berjalan agak santai. Maklum naik motor sendiri jadi gak perlu terburu-buru. Lumayan bisa sambil menikmati pemandangan kota Labuan Bajo dari ketinggian.

Walau sebenarnya masih cukup hapal arah ke lokasi aku memilih bertanya arah kembali ke penduduk setelah dekat di Warsawe untuk meyakinkanku. Memang sekarang banyak aplikasi peta seperti Google Map yang dengan mudah menjadi guide andal ke lokasi-lokasi yang sudah terkenal, tapi GPS (Gunakan Penduduk Setempat) masih menjadi jurus andalanku. Ada beberapa faktor yang membuatku nyaman dengan mampir bertanya ke penduduk: (1) Cara mudah berinteraksi dengan masyarakat setempat, (2) Memastikan bahwa aplikasi peta tidak menyesatkan terutama jalur-jalur yang belum dikenal, (3) Aku masih old style yang masih nyaman bercakap-cakap dengan masyarakat.

Pembenahan Infrastruktur 
Wisata di Kabupaten Manggarai Barat mulai banyak dibenahi, termasuk di lokasi air terjun Cunca Wulang. Beberapa fasilitas mulai diperbaiki, seperti dibangunnya jalan setapak dengan beton menembus hutan menuju ke lokasi air terjun. Jarak tempuh berkurang hampir setengah waktu di banding dulu. Aku masih ingat dulu seorang teman dari bepeka sempat terduduk lemas kecapean waktu jalan balik karena kondisi jalan yang cukup sulit melewati hutan yang naik turun tajam. Apalagi menuju air terjun harus turun dari bebatuan sungai yang cukup curam. Belum selesai seluruhnya, jalan beton sudah dibangun namun pagar pengaman masih sebagian belum terpasang.

Dan juga adanya dua buah jembatan yang dibangun, satu jembatan biasa dan satu jembatan gantung. Jembatan biasa dibangun diantara dua bukit untuk memendek jarak perjalanan, sedangkan jembatan gantung untuk membantu melewati sungai. Hanya kalau melihat kualitas bangunannya, aku agak ragu jembatan gantung ini bisa bertahan lama.

Tapi itu infrastruktur yang ada di lokasi lho ya, kalau perjalanan dari Labuan Bajo ke Cunca Wulang tetap saja masih banyak yang kurang bagus. Terutama dari pertigaan Warsawe menuju lokasi air terjun.

Ada harga dengan dibangunnya infrastruktur ini, sekarang biaya masuk ke dalam lokasi bisa dibilang mahal. Ada seorang bule yang sepertinya solo backpacker keberatan dengan tarif masuknya. Kenapa? Karena ke sana diharusnya menggunakan jasa pemandu. Mau kalian jalan sendiri, berdua atau selusin tetap harus menggunakan jasa pemandu. Selamat jalan para backpacker hemat, kalian tak akan bisa berhemat berwisata di Manggarai Barat jika pergi sendirian. Tiket masuk plus jasa guide sekitar 70-ribu, itu untuk wisatawan lokal. Untuk wisatawan asing sepertinya lebih dari 100-ribu.

Sepuluh kali kalian ke lokasi itu, sepuluh kali harus membayar biaya guide lokal. Padahal tanpa guide pun dengan kondisi sekarang kecil kemungkinan seorang wisatawan akan tersesat, kecuali sengaja berjalan keluar dari trek yang ada. Ada setiap tempat wisata wajib ada? Hal itu tergantung lokasi tentunya. Jika lokasi yang belum dikembangkan dan susah diakses tentu butuh pemandu. Bahkan tanpa diwajibkan pun wisatawan akan mencari pemandu. Atau tempat bersejarah yang membutuhkan kehati-hatian dalam pengelolaan, jelas kebutuhan guide diperlukan.

Aku tidak berpendapat sendiri, silahkan kalian browsing dan cari tahu berapa banyak yang mengeluh dengan biaya tiket masuk yang dianggap terlalu mahal. Beda sekali rasanya saat aku berwisata di Jawa yang tiketnya banyak yang ramah kantong.


Aku sendiri tidak keberatan adanya guide, karena aku suka jika ada teman berbincang apalagi kalau sedang jalan sendiri. Hanya jika keberadaan pemandu menjadi kewajiban bagi seluruh wisatawan jelas itu akan membunuh keinginan banyak backpacker yang ingin menjelajah di Manggarai Barat. Tiba-tiba tempat wisata di Manggarai Barat menjadi tidak ramah terhadap para backpacker. Haruskah semua tempat wisata harus ditebus dengan kocek yang tebal?
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 20 Januari 2019

Matayangu: Air Terjun atau Danau?

Air terjun Matayangu
Suatu kali pernah ada turis asing yang penasaran mencoba mengukur kedalaman danau. Untuk mengukur, dia menyiapkan 5 rol tali yang panjang tiap rolnya 500 meter. Namun setelah rol demi rol tali disambungkan sampai habis 5 rol itu tetap tidak menjangkau dasar danau. Itulah cerita mitos air terjun Matayangu yang dituturkan oleh Jumad, pemandu kami. Atas dasar cerita itu, masyarakat sekitar percaya kalau danau ini terhubung dengan laut Wanokaka yang berada di sisi selatan Sumba. Mitos lebih jauh mengatakan jika ada gurita raksasa yang dipercaya masyarakat menjaga danau ini. Seru mendengar cerita mitos tentang tempat-tempat seperti ini.

Air terjun atau Danau?
Air terjun Matayangu
Dari atas tempatku berdiri, sebuah danau luas yang airnya berwarna biru tosca tampak jelas walau masih terhalangi pepohonan. Di ujung lain berhadapan dari tempatku berdiri, tampak sebuah air terjun yang keluar dari bagian tengah tebing batu. Air terjun itulah yang mereka sebut Matayangu. Mungkin air itu keluar dari sungai bawah tanah.

Aku tak tahu, apakah Matayangu lebih pas disebut sebagai air terjun atau danau. Tingginya air terjun Matayangu jadi tampak kecil bagaikan sebuah 'grojokan' kecil bila dibandingkan luas danau di bawahnya. Terlepas dari hal itu, Matayangu tetaplah salah satu air terjun terbaik yang ada di Sumba. Berada di kedalaman hutan di kawasan Taman Nasional Tanadaru Manupea, air terjun ini menawarkan sensasi air danau dengan warna biru toscanya.

Air terjun Matayangu
Air terjun ini terkurung lengkung tebing dalam lebatnya hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Dalam satu kawasan ini selain air terjun Matayangu juga ada air terjun Lapopu. Bedanya air terjun Matayangu posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan air terjun Lapopu. Meskipun berada dalam lokasi yang sama namun sumber air kedua mata air ini berbeda.

Perjalanan Menuju Air Terjun
Dengan naik mobil travel, aku dan Imam baru sampai di Waikabubak agak sore sekitar jam 3-an. Saat itu, aku sudah diinformasikan kalau hotel sudah penuh semua. Dari informasi seorang ibu yang mengajakku ngobrol selama di mobil, akhirnya aku menginap di sebuah hotel kecil bernama A. Sebuah keputusan yang kusesali kemudian, karena ternyata pemilik hotel ini sangat tidak ramah. Itulah mengapa kemudian aku mengisi rate hotel ini bintang satu alias sangat tidak direkomendasikan.

Sungai di Air terjun Matayangu
Masalah kedua adalah soal sewa motor. Ternyata bukan cuma kamar-kamarnya saja yang penuh, motor-motor dari hotel yang biasa bisa kita sewa ternyata sudah tidak tersedia. Untungnya, ada seorang teman dari Waikabubak, pak Hans biasa kita memanggilnya bersedia meminjamkanku sebuah motor. Dia juga menyarankanku untuk berangkat lewat jalur air terjun Lapopu.

Memang ada dua jalur untuk bisa ke air terjun Matayangu. Pertama adalah jalur yang umum yaitu masuk melalui gebang masuk ke air terjun Lapopu. Jalur kedua adalah lewat jalur Sumba Tengah tepatnya di desa Waimanu. Secara administratif memang air terjun Matayangu masuk ke Sumba Tengah. Namun untuk akses ke air terjun lebih disarankan lewat jalur gerbang masuk air terjun Lapopu. Informasinya, jalur yang melalui Sumba Tengah belum ditata sehingga medannya lebih susah. Secara jarak juga lebih jauh dibandingkan jalur dari Lapopu. Belum lagi untuk parkir kendaraan lebih susah karena tidak ada penjaga di sana.

Perjalanan dari Waikabubak sampai ke cabang masuk menuju gerbang masuk air terjun Lapopu bisa dikatakan lancar karena sebagian jalan sudah diperbaiki. Waktu tempuh hanya sekitar setengah jam saja. Namun selepas percabangan masuk itulah terdapat beberapa ruas yang agak susah dilewati karena rawan bikin roda kendaraan slip.

Di titik jalan rusak menuju ke gerbang masuk, aku memilih turun dari motor. Di tempat ini dulu Imam pernah jatuh dari motor, yang aku tulis disini: Terpesona di Lapopu. Sebagian besar jalan memang sudah perbaikan namun jalan masuk ke arah gerbang masuk bekas jalan aspal yang sudah habis terkelupas menyisakan tanah dan batuan. Mungkin karena masih trauma dengan kejadian sebelumnya, saat jalan menurun Imam sangat hati-hati. Aku membantu memegangi kendaraan dari belakang. Beberapa kali roda motor mengalami slip namun untuk tidak sampai terguling. Setelah jalan menanjak, aku minta Imam naik motor sendiri sementara aku berjalan kaki. Dan ternyata, bikin sehat ngos-ngosan!

Sampai di gerbang masuk rupanya sudah banyak kendaraan terutama mobil. Sebagian mobil itu berisi wisatawan dari luar. Perkiraanku mungkin dari Taiwan atau China Daratan (RRC). Saat aku tanya ke Jumad, salah satu guide di sana ternyata mereka lebih memilih ke air terjun Lapopu. Kemajuan pertama yang aku lihat di tempat ini adalah sudah dibangunnya beberapa bangunan lopo juga beberapa tempat duduk untuk beristirahat tamu. Selain itu juga sudah ada beberapa warung yang berjualan makanan. Bandingkan dengan dulu waktu pertama kali ke air terjun Lapopu  dimana tidak ada satu pun penjual.

Perjalanan langsung dimulai dengan jalan naik ke atas melalui sebuah tangga kecil. Tangga ini memiliki pegangan dari besi yang dibuat sepanjang pipa besi besar yang diameternya tidak kurang dari setengah meter. Tangga ini adalah tangga inspeksi yang dibangun untuk memantau jalur pipa yagn digunakan untuk mengalirkan air ke pembangkit listrik mikro hidro. Kata Jumad sih ada sekitar 200 anak tangga, entah jumlahnya sebanyak itu atau kurang aku tidak tahu. Lagi-lagi acara naik tangga bikin sehat ngos-ngosan!

Selepas berakhirnya tangga, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan berpijak di atas pipa langsung. Aku yakin, berjalan di atas jalur pipa dilarang, namun apa daya saat itu jalur jalan yang ada di bawah tidak bisa digunakan karena yang ada becek oleh aliran air. Selain itu jalur banyak terputus karena mungkin sudah lama tidak pernah lagi digunakan orang. Mungkin selama ini wisatawan selalu diarahkan guide untuk berjalan di atas pipa seperti kami. 

Berjalan di atas pipa jelas harus lebih hati-hati karena tidak ada pegangan, belum lagi kadang kala pipa menggantung dengan tinggi dua meter lebih dari tanah. Untung pipanya tidak terasa licin di kaki, entah jika datang pas musim hujan. Setelah menempuh setengah perjalanan kami sampai ke ujung pipa, yaitu sebuah bak penampungan dari sebuah sumber mata air. Mata air itulah sumber dari air terjun Lapoppu. Sayang mata air saat itu kecil debet airnya, musim kemaraulah penyebabnya. Suasana yang rindang membuat kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Baru setengah jalan namun menguras tenaga. Untungnya di sepanjang perjalanan riuh terdengar bunyi burung-burung hutan. Satu dua kali tampak burung ekor biru panjang lewat. Sayang tidak ada penampakan burung Kakatua Jambul Kuning atau Julang Sumba, entah dimana mereka semua kini. Jangan salah, Sumba punya banyak burung endemik yang sering dikira bukan burung Sumba. Jenis burung seperti Julang Sumba, Nuri Pipi Merah, Jalak Sumba, Betet Kelapa, Rawamano, Sikatan sumba, Pipasan, dan Kakatua Jambul Kuning adalah burung-burung endemik Sumba.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menyusuri punggungan bukit. Perjalanan kembali sulit karena kondisi jalan yang miring dan naik turun. Untungnya di titik-titik jalan yang rawan dilewati terbantu dengan dipasangnya kayu-kayu yang di ikat antar pohon sebagai petunjuk jalan sekaligus sebagai alat kita berpegangan. Melihat kondisi jalan yang seringkali tidak jelas, keberadaan pemandu seperti Jumad ini memang sangat diperlukan. Bahkan jika kalian pernah dua kali ke Matayangu tetap berpotensi akan tersesat tanpa jasa pemandu. Golok di pinggangnya berguna sekali untuk membantu memangkas cabang pohon yang kadang tumbuh menutupi jalan.

Danau Biru Tosca yang Luas
Setengah jam kemudian suara guruh air terdengar makin jelas. Dari balik pepohonan tampak aliran air bening berwarna kebiruan mengalir melewati bebatuan turun ke bawah. Begitu mencapai area terbuka, pemandangan danau yang luas tampak didepan mata. Benar dugaanku, air terjun Matayangu itu menipu mata. Jika dilihat dari foto-foto yang ada di internet air terjun nampak kecil saja. Padahal dalam kondisi kering dan menyisakan air terjun yang dari tengah (air bawah tanah), ketinggiannya tidak kurang dari 30 meter. Namun karena danaunya luas, jadilah air terjunnya tampak kecil saja di foto.

Air terjun Matayangu
Sebenarnya jika aliran air terjun yang paling atas sedang tidak kering, ketinggian air terjun Matayangu itu sekitar 75 meter. Jadi air terjun itu ada 2 sumber, dari sungai yang paling atas dan air yang keluar dari bagian tengah (sungai bawah tanah). Aku kurang beruntung tidak mendapatkan pemandangan air terjun yang lebih tinggi, tapi tetap saja tidak mengurangi kekagumanku akan keindahan alam Sumba.

Baru mulai masak air untuk membuat minuman pas dan mie rebus, tampak beberapa bule mulai berdatangan dari seberang lain danau. Setidaknya ada tiga rombongan terpisah yang datang bergantian. Bule-bule ini adalah tamu dari Nihiwatu Resort. Artinya ada 3 jalur yang bisa digunakan untuk menjangkau Matayangu.

Sayangnya aku tidak berenang karena tidak ada celana ganti sama sekali. Mungkin lain kali kalau kesini aku bisa membawa baju ganti dan perlengkapan berenang. Rugi rasanya hanya bisa melihat air danau yang bening segar. Padahal bule-bule dari Nihiwatu saja pasti kesini untuk berenang.

 

Selain bule-bule itu, praktis cuma kami saja yang melancong ke tempat ini. Baru saat kembali pulang bertemu dengan rombongan muda-mudi yang baru akan ke Matayangu. Rombongan muda-mudi ini rupanya berangkat dari jalur Sumba Tengah. Jalur yang katanya lebih susah walau secara jarak lebih dekat.

Catatan:
  1. Dari jalur manapun, perjalanan ke air terjun Matayangu menempuh jarak yang lumayan memakan waktu dan cukup berat, siapkan perbekalan makanan dan minuman yang cukup. Jangan berharap ada penjaja makanan di lokasi.
  2. Pada musim khususnya penghujan adalah saat terbaik menikmati keindahan air terjun Matayangu, namun perjalanan juga makin sulit. Penggunaan sepatu boat bisa dipikirkan, baju dan celana panjang untuk menghindari terkena tanaman liar beracun dan berduri serta pacet/lintah.
  3. Gunakan jasa pemandu, medan jalan di semua jalur sama susahnya. Harga pemandu sekitar 150ribu menurutku wajar saja karena sehari mereka paling hanya menemani 1-2 kali turis/pejalan. Ikut rombongan adalah cara lain untuk sharing biaya terutama jika menjadi solo traveller.
  4. Sepertinya pilihan menginap/memasang tenda bukan pilihan baik. Bagaimanapun daerah Lamboya dan Manokaka masih dianggap sebagai daerah yang rawan kejahatan. Sebaiknya hindari pulang terlalu sore/malam demi keamanan.
(catatan perjalanan satu minggu keliling sumba bareng Imam)
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 09 Desember 2018

Sejuknya Air Terjun Laiwi

Air terjun Laiwi Sumba Timur
 Air terjun La'iwi, nama yang membuat seorang mama tua geleng-geleng sambil mengatakan, "kasihan anak'e" sebelum dia kemudian memberitahukan jalurnya. Aku tak mengerti apa maksud dari kata 'kasihan' yang dia lontarkan begitu saja sampai nanti setelah aku sampai di lokasi.

Desa Matawai Amahu, Kecamatan Katala Hamu Lingu adalah lokasi air terjun ini, namun tentu saja tidak lantas begitu mudah ditemukan. Bukan karena medan jalannya yang sulit, namun lebih karena lokasi ini belum dikelola menjadi tempat wisata. Setidaknya sampai aku datang. Batu-batu dan pasir masih tertumpuk di dalam kawasan, hanya lokasi masuknya baru dibangun sebuah gerbang masuk dari kayu. Itu satu-satunya penanda kalau aku dan Imam memang sudah sampai lokasi. Tapi masuk lewat mana? Harus bertanya lagi.

Perjalanan Tak Disengaja
Air terjun Laiwi tidak pernah masuk dalam list-ku. Hari Kamis selepas sarapan aku dan Imam sudah start naik motor dari Waingapu dengan tujuan pantai Tarimbang. Karena jarak dari Waingapu ke pantai Tarimbang katanya hampir 4 jam, jadi sebaiknya berangkat pagi.

Awalnya dari Waingapu ke pantai Tarimbang mau mampir ke bukit Wairinding, namun karena terlewat terlalu jauh akhirnya batal ke Wairinding dan lanjut terus ke Tarimbang. Kalau kata Imam ini semua salah sinyal yang seenaknya muncul hilang. Perbukitan Sumba memang momok bagi sinyal, begitu jalan yang terjepit diantara dua bukit langsung saja sinyal hilang. Padahal terjepit diantara dua bukit itu enak.. bangett..

Di pertigaan simpang Paipraha setelah masuk di Lewa belok ke kiri, aku sempatin mampir ke sebuah warung kecil. Sebenarnya hanya warung kelontong saja, tapi ibunya tidak keberatan membuatkan segelas kopi sachet. Kebetulah ada beberapa rombongan motor yang baru saja kembali dari pantai Tarimbang sekalian bisa dapet info lokasi tepatnya.

Setengah jam kemudian kita lanjutkan perjalanan menuju Tarimbang. Di pertengahan jalan, di sebuah percabangan jalan ada tulisan "Air Terjun Laiwi" membuat aku menghentikan motorku. Eh, motor pinjaman maksudku.

Rencananya aku akan memotret Tarimbang saat senja, jadi setelah berhitung waktu aku sepakat dengan Imam untuk mencoba mendatangi air terjun Laiwi. Jalan aspal yang ada hanya sedikit, sisanya adalah jalan tanah putih yang melewati persawahan tadah hujan. Sampai beberapa saat berkendara ternyata belum ketemu juga, udah begitu tidak ada warga yang lewat yang bisa kita tanyai lagi. Jalan masuk yang semula tanah putih sebagian mulai ditumbuhi rumput membuat kita makin ragu.

Akhirnya aku balik lagi cari rumah. Mampir di sebuah rumah kayu dengan atap alang-alang khas rumah Sumba, seorang Bapak tua yang duduk di pinggir pintu masuk dengan asyik menggerus sesuatu, entah apa. Saat aku bertanya arah jalan, tiba-tiba bapak itu menjawab dalam bahasa daerah yang aku tidak mengerti. Duh, gantian aku yang bingung.. Bapak tua itu berteriak seperti memanggil seseorang di dalam rumah. Tak berapa lama seorang mama tua yang mungkin istrinya keluar menemuiku. Mama tua ini untungnya bisa berbahasa Indonesia. Dan seperti cerita awalku, dia lah yang mengatakan, "Kasian anak'e"

Ternyata masih sekitar satu kilometer lagi, mama tua kasih tanda kalau bertemu satu jembatan besar warna kuning hitam dan itu sudah sampai. Benar saja, tak berapa lama berkendara sampailah kita di sebuah jembatan kuning hitam dan sebuah bangunan gapura bertuliskan Selamat Datang di Air Terjun Laiwi.

Bingung mau parkir dimana, seorang bapak tua yang lewat menyarankan aku untuk belok masuk ke kiri terus sampai mentok lewat sebuah jalan. Aku memasukkan motor sampai disebuah tanah agak lapak dan dipenuhi tumpukan batu dan pasir, kukira ini nantinya akan menjadi tempat parkir.

Medan Air Terjun yang Masih Sulit
Sebelum menulis ini aku sempatkan browsing internet untuk mengetahui seperti apa Laiwi. Ternyata ada yang menuliskan kalau Laiwi memiliki 4 tingkat, tetapi aku sendiri menghitung saat sambil jalan cuma ada 3 tingkat entah tingkat yang mana yang ngumpet.

Tingkat pertama berada di samping lokasi parkir (nantinya) dengan ketinggian mungkin semeteran. Bagi yang ingin sekedar mengajak anaknya ke air terjun tempat ini sudah cukuplah. Tapi tentu saja jika tidak direpotkan oleh anak kecil, sangat sayang jika hanya menjangkau air terjun tingkat pertama ini saja.

Tingkat kedua agak lebih tinggi jatuhnya, aku tidak tahu persis hanya sekilas tampak saat menyusuri jalan. Dari hasil browsing ketinggiannya sekitar 4-meteran, yah lumayan lah. Jalan ke tingkat kedua katanya agak susah tapi tentu tidak sesulit tingkat paling akhir.

Tingkat ke-3 ini adalah tingkat terakhir dan yang paling tinggi dengan medan jalannya yang paling susah. Jalan tanah berdebu saat kering dan berlumpur saat hujan menurun tajam tanpa ada takik-takik. Saat kaki melangkah turun hanya mengandalkan akar-akar melintang yang menjadi penopang, yang untungnya cukup kuat menopang. Tanpa akar-akar itu kita akan gampang merosot jatuh ke bawah. Selain akar pohon yang melintang, kita juga dapat membantu untuk turun adalah kayu rotan yang mirip batang bambu merunduk yang panjang.

Setelah mengalami susahnya naik turun menuju air terjun ini. aku akhirnya sangat paham apa maksud kata kasihan anak'e, rupanya memang kondisi air terjunnya masih sulit untuk didatangi. Duh mama'e coba kasih lebih jelas dari awal ka...

Mungkin kalau ke depan kawasan air terjun ini dibenahi sebagai obyek wisata yang pertama harus dibangun adalah tangga. Kalaupun dibiarkan alami mungkin bisa dibuat takik-takik untuk pijakan kaki dan tali atau kayu-kayu sebagai pegangan.

Lima belas menit kemudian barulah penampakan air terjun Laiwi muncul dari balik pepohonan. Air terjun tingkat ketiga ini informasinya memiliki ketinggian sekitar 60-meteran. Air terjun ini dikelilingi tebing batu tegak lurus sehingga matahari hanya akan menyinari langsung di bagian bawah beberapa jam saja antara jam 10 sampai jam 2 siang, selebihnya selalu dibalik bayang pepohonan dan tebing batu. 

Itulah mengapa suasananya cenderung sejuk terus walaupun berada di bawah. Bandingkan dengan di lokasi parkir yang justru terasa panas. Bebatuan di sekeliling tebing dipenuhi tanaman merambat dan lumut.

Air terjun saat itu debetnya tidak terlalu besar karena aku dan Imam datang di bulan Agustus. Walau begitu, suasana rindang kawasan air terjun ini tetap enak dinikmati karena terasa sejuk seharian.


Oh iya, satu informasi lagi yang aku baru tahu dan sekalian aku bagikan untuk kalian. Ternyata nama Laiwi itu juga berarti rotan, dan memang di kawasan ini banyak dijumpai tanaman rotan. Tanaman ini bentuknya seperti batang bambu yang merunduk/menjalar.

Beberapa tips bagi yang ingin singgah ke tempat ini: 
  1. Bawa perbekalan secukupnya termasuk air minum, karena sampai saat ini tidak ada penjual makanan/minuman di sekitar lokasi air terjun. Perjalanan naik dan turun menuju ke tingkat kedua apalagi ketiga sangat menguras tenaga. Jangan sampai anda kelelahan atau pingsan hanya karena kurang/tidak membawa bekal.
  2. Gunakan alas kaki yang tidak licin. Hindari menggunakan alas kaki seperti sandal jepit biasa, sepatu high heel atau sepatu kerja. Sebaliknya menggunakan alas kaki yang solnya berbahan karet. 
  3. angan memaksakan diri, jika merasa tidak sanggup jangan dipaksakan turun hanya karena malu dengan teman lain. Ingat, keselamatan anda tanggung jawab anda sendiri. Lagian walaupun ada puskesmas di dekat lokasi ini tetep saja bikin repot orang lain kalau anda celaka.
  4. Jangan membuang sampah sembarangan. Saya malah menyarankan anda membawa kembali sampah anda walaupun nantinya disini dibuat tempat pembuangan sampah.
 Bagian dari perjalanan seminggu keliling Sumba bareng Imam 'Boncel'
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 01 Desember 2018

Terbius Tosca Air Terjun Tanggedu

Dinding batu air terjun Tanggedu
Tebing-tebing batu berlekuk di bagian akhir air terjun
Dua buah aliran sungai yang mengalir di bawah dinding-dinding perbukitan karst menjatuhkan airnya ke dalam kubangan bertingkat membentuk beberapa anak air terjun. Warna biru tosca air yang mengalir tampak semakin cemerlang membiaskan pantulan cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik bukit. Ini adalah air terjun terindah yang pernah kulihat selama ini. Tanggedu... perjalanan yang sulit telah terbayar lunas!

Rencana Liburan Seminggu di Sumba
Papan penanda pintu masuk air terjun Tanggedu
Suara manis pramugari terdengar mengumumkan bahwa 15 menit lagi pesawat akan mendarat. Mengintip dari jendela, pemandangan yang kudapati hanya langit nyaris tanpa awan, tanah Sumba belum tampak. Tak lama kemudian seiring pesawat yang semakin terbang merendah, pemandangan tanah Sumba mulai menampakkan diri. Kering, datar dan tampak rata dengan warna kecoklatan. Sumba Timur memang terkenal dengan padang sabana-nya, yang pada bulan panas seperti ini seluruh rumputnya sudah pasti akan coklat mengering. 

Pesawat Wings Air menjejakkan roda-rodanya di landasan pacu bandara Umbu Mehang Kunda. Pesawat mendarat agak keras dan sedikit terasa oleng, pasti angin saat ini sedang kencang. Aku memutar badan untuk melemaskan otot-otot yang serasa kaku semua. Aku dan Imam tak terburu-buru karena toh masih harus mengambil tas yang aku masukkan bagasi. Tidak ada barang penting, tapi pisau lipat dan beberapa barang yang tidak mungkin lolos jika lewat kabin.

Padang sabana arah air terjun Tanggedu
Padang sabana di punggungan bukit
Begitu turun pesawat, hawa panas langsung menyergap kami. Ruang tunggu bagasi yang kecil jadi berasa panas, apalagi tidak ada AC yang terpasang. Untung tak lama kemudian tasku tampak pertama. Imam tampak menerima telepon, sepertinya dari hotel yang akan menjemput kami. Agak surprise juga begitu tahu yang menjemput kami ternyata seorang perempuan. Rupanya dia adalah anak pemilik hotel yang sekalian menjadi manager hotel. Orangnya masih muda dan cukup ramah, cuma aku gak tahu masih jomblo atau udah nikah. 

Untungnya pemilik hotel juga menyewakan sepeda motor. Cuma harga sewanya agak mahal Rp150.000/hari dengan dua helm yang udah bulukan hahaha. Ya sewa ini tentu jauh lebih mahal dibanding penyewaan motor di Bali atau di Malang misalnya. Yah, masih lumayan lah. Mungkin nanti dengan semakin berkembangnya wisata di sini, persewaan kendaraan akan semakin murah.

Seminggu ini, aku dan Imam berencana akan melakukan perjalanan dari ujung Timur ke ujung Barat pulau Sumba. Semua berawal dari ajakanku ke Imam untuk jalan seminggu penuh ke Sumba. Selama ini aku mengunjungi beberapa lokasi wisata di Sumba mencari waktu di sela-sela penugasan, yang tentu saja lebih terbatas. Namun seminggu juga bukan waktu yang panjang, aku masing berhitung waktu tempat mana yang aku harus masukkan lokasi wajib didatangi.

Menuju Air Terjun Tanggedu
Air terjun kecil di bagian aliran sungai sebelah kiri
Setelah mampir sebentar untuk makan pagi, hal pertama yang aku cari adalah sekaleng gas. Naik pesawat tidak memungkinkan aku membawa gas kalengan. Namun ternyata mencari gas kaleng bukan perkara mudah. Beberapa toko yang aku tahu dulu menjual gas kaleng ternyata juga berakhir dengan tangan hampa. Untungnya setelah beberapa toko akhirnya aku mencapatkan gas kaleng, dan ternyata ada di toko yang menjual peralatan motor. Nah lho..

Kelar urusan gas kaleng, aku dan Imam langsung ngacir dengan motor dengan jadwal ke air terjun Tanggedu. Informasi dari Ayu yang pernah kesini, jalur menuju Tanggedu yang jarak jalannya paling dekat melewati rute ke Puru Kambera. Aku sendiri sudah beberapa kali ke Pantai Puru Kambera karena tempatnya deket dari kota. Nyaris setiap kali ke Waingapu aku biasa mampir ke Pantai Puru Kambera. Ya udah, gak usah tanya ke masyarakat aku melarikan motor ke arah Puru Kambera.

Bukit savana di atas Puru Kambera
Perjalanan sampai Puru Kambera masih terbilang aman saja, jalur jalan sebagian besar masih bagus. Btw, kalau aku bilang bagus itu bagusnya ala orang NTT ya tidak sama dengan kalau di Jawa bilang jalannya bagus hehehe. Hanya saja ada satu titik yang paling susah untuk kendaraan yaitu selepas pantai Londa Lima, yaitu adanya pembangunan jembatan. Menuruni sungai yang jalannya tanah berdebu lumayan susah. Aku harus turun jalan kaki karena bantu menahan motor saat turun dan mendorong motor saat naik ke atas.

Dari Pantai Puru Kambera aku terus menyusuri jalan sampai bertemu sebuah pertigaan Pasar Mondu di daerah Kanatang. Seharusnya aku sudah berbelok ke kiri di pertigaan sebelumnya, tapi lebih mudah dikenali jika lewat pertigaan Pasar Mondu. Mungkin mencari pertigaan ini yang harus bertanya ke penduduk yang ada di sekitar. Tapi itu susah, nyaris siang itu tidak kami dapati orang yang ada di pinggir jalan.

Menggiring kuda pulang
Setelah berbelok ke kiri dari pasar Mondu, barulah perjalanan berubah menjadi lebih lambat. Jalur yang kami lewati adalah jalan lapen yang aspalnya ala kadarnya sehingga di beberapa ruas sudah banyak yang rusak. Tapi untungnya sepanjang jalan menyusuri padang sabana yang bikin suasana panas siang itu tidak terlalu kami rasakan. Kalau kalian menemukan jalan beraspal bagus jangan senang dulu karena itu hanya dibangun pas belokan saja selebihnya kembali jalan tanah putih. Aku sendiri sudah beberapa kali terkena zonk seperti ini, berharap dapat jalan aspal ternyata cuma angin surga sesaat.

Di pinggir jalan kami melihat dua buah mobil terparkir masuk ke sebuah tanah lapang dan tampak beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Aku dan Imam mendekati rombongan itu berharap bisa mendapatkan informasi lokasi. Ternyata mereka juga rombongan wisatawan yang menggunakan mobil tetapi tertahan sampai di lokasi ini. Apa pasal? ternyata beberapa kilometer ke depan menuju Tanggedu ada perbaikan jalur jalan. Saat itu sepanjang jalan sedang dihampar batu karang, hanya menyisakan sepotong jalan tanah di sisi kiri yang dekat dengan jurang. Beberapa orang yang tetap mau ke Tanggedu melanjutkan jalan dengan berpindah ke jasa ojek. Sayang jumlahnya terbatas sehingga tidak semua bisa terangkut.

Karena aku pikir sudah tanggung ya sudah kami nekat mencoba jalan. Namun karena masih berupa batuan karang yang besar-besar tentu rawan bikin ban robek. Jadi aku memutuskan Imam yang naik motor pelan-pelan menyisir jalan pinggir, sedang aku berjalan kaki. Untungnya karena di atas bukit, dengan berjalan kaki aku bisa memotong jarak dengan menuruni perbukitan walaupun harus tetap hati-hati.

Kesulitan Perjalanan yang Setimpal
Perjalanan berakhir ke desa Tanggedu, berakhir menggunakan motor maksudnya. Jalan benar-benar berakhir di sebuah halaman rumah salah satu penduduk. Beberapa motor terparkir di bawah pohon, sementara pemiliknya sedang bersantai menikmati makanan di lapak penjual minuman di sekitar lokasi. Ternyata mereka sudah kembali dari air terjun Tanggedu.

Setelah memarkirkan motor, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki turun ke bawah sampai di pinggir jurang. Menuruni jurang sampai ke bawah untuk melewati sungai menuju ke bukit sebelanya. Jika kondisinya begini, alamat air terjun Tanggedu tidak dapat dilewati saat musim penghujan.

Setelah naik kembali ke bukit sebelahnya dan menyusuri punggungan bukit, perjalanan berubah melewati padang sabana sampai bertemu dengan beberapa rumah. Di salah satu rumah kami masuk untuk membayar tiket masuk dan uang untuk jasa mengantar. Toni, anak pemilik rumah yang masih bersekolah di SMP mengantarkan kami sampai ke gerbang masuk air terjun Tanggedu. Kami melewati beberapa area berpagar, rupanya untuk ke air terjun harus melewati tanah-tanah milik warga. Mungkin itu salah satu alasan pembangunan ke arah air terjun belum berkembang saat ini.
 

Perjalanan turun ke bawah cukup curam, untungnya oleh masyarakat dipasang kayu atau tali tambang untuk bantuan berpegangan. Musim kemarau seperti ini lumayan membantu, tanah putih menjadi tidak licin walaupun jadi sedikit berdebu. Sepertinya di musim hujan, perjalanan turun ke bawah akan sangat sulit karena tanahnya bisa jadi akan menjadi licin.

Semua kesulitan perjalanan memang setimpal dengan pemandangan air terjun yang kami temui. Padahal terus terang, pada musim kemarau seperti ini aku sudah menurunkan harapan serendah-rendahnya. Namun yang kami dapati, air terjun ini airnya tetap berlimpah.

Bagian bawah selayaknya bebatuan karst dimana air mengalir seperti mencari celah untuk dapat mengalir. Di bagian akhir dari air terjun ini yang menjadi favorit Imam. Air sungai yang diapit lekukan khas dinding karst tegak lurus berlekuk-lekuk bagaikan diukir seniman alam. Warna air biru tosca seakan menegaskan keindahannya.

Air terjun Tanggedu berasal dari dua aliran sungai. Di sebelah kiri aliran sungai jatuh langsung ke sebuah kubangan besar dan menyatu dengan aliran satunya. Berbeda dengan aliran sungai yang lurus, dari ujung pemandangan sampai ke titik penyatuan ada beberapa jatuhan air di beberapa titik. Hal itu mengapa di beberapa aliran yang sempit air tampak sangat kencang.

Aku dan Imam naik kembali menjelang sore sekitar jam 5-an. Namun, aku dan Imam sudah berniat suatu saat nanti akan kembali kesini untuk bermalam di air terjun Tanggedu.

Perjalanan Pulang yang Sama Susahnya
Ternyata perjalanan pulang juga tidak lebih mudah terutama mengenali medan jalan. Karena mulai gelap terus terang aku dan Imam kesulitan mengenali tempat kami datang. Sempat agak kesasar, untungnya ada seorang ibu yang kami temui waktu di air terjun sedang lewat sehingga membantu mengantarkan sampai ke jalan turun bukit untuk melewati sungai.




Dan kesusahan kedua adalah di titik yang ada pembangunan jalan. Jika sebelumnya aku berjalan menuruni bukit, sekarang aku harus berjalan naik ke atas bukit. Bah, keringatan bikin sehat memang perjalanan ke air terjun Tanggedu ini. Itu belum lagi ditambah bensin yang sudah berada di garis demarkasi untuk menyerah. Bayangkan saja, berjalan naik motor sambil berharap motor tidak mogok di tempat sepi karena bensin habis. Duh untungnya hal itu tidak terjadi. Orang baik masih dilindungi Tuhan wkwkwkwk.

Teman jalan seminggu keliling Sumba:  Imam "Boncel"
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 25 November 2018

Curug Sawer Sukabumi


Sambil mengusap peluh yang bercucuran, aku mencari bebatuan untuk duduk. Lumayan juga perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke air terjun ini sekitar satu jam dengan kondisi jalan yang kadang membingungkan karena minim petunjuk. Pemandangan air terjun yang suaranya bergemuruh yang debet airnya masih kencang hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempatku duduk. Tiupan dari uap air yang kadang-kadang menerpa wajahku membuat adem tubuhku. Suasana masih lumayan sejuk walau matahari sudah bersinar terik. Kuletakkan kameraku agak jauh di balik bebatuan agak tidak ikut basah oleh tempias airnya.

Debet air dari air terjun yang tingginya sekitar 50 meter ini masih besar walaupun bukan musim penghujan. Hal itu tidak mengherankan, letaknya yang berada di kawasan Gunung Gede Pangrango yang berada di ketinggian sekitar 1300 mdpl adalah kawasan yang masih terlindungi.

Btw, saat aku mencoba browsing di Internet mencari informasi tentang Curug Sawer ternyata banyak sekali air terjun di sekitar Jawa Barat yang menggunakan nama Curug Sawer. Ada Curug Sawer di Majalengka, ada Curug Sawer di Pandeglang, Curug Sawer di Gunung Halu. Juga ada satu lagi nama Curug Sawer di Tasikmalaya. Duh kok pasaran banget ya kasih nama Curug Sawer.

Melihat Curug Sawer sebenarnya bonus saja bagiku karena dari awal aku tidak punya informasi sedikitpun tentang curug satu ini. Dari awal perjalanan aku hanya berniat mengunjungi Danau Situ Gunung saja yang sudah aku tulis di sini: Kabut Pagi Danau Situ Gunung. Tapi rupanya hari pertama kedatanganku di danau ini pemandangannya tidak seperti yang kuharapkan, cuacanya sangat cerah tanpa kabut pagi sedikitpun.

Sebuah jembatan kayu di depan Curug Sawer
Jam setengah delapan setelah berjalan-jalan di seputaran danau Situ Gunung, akhirnya aku memutuskan untuk menjelajahi sekitar taman nasional ini. Kebetulan sebuah papan petunjuk menunjukkan posisi Curug Sawer, ya udah aku coba ikutin saja. Di jalan kebetulan ada seorang pekerja yang sedang memeriksa jaringan pipa air yang sepertinya ada perbaikan.
"Iya ikut jalan terus saja nanti ada pertigaan di depan itu belok ke kanan yang jalannya naik ke atas," katanya kepadaku saat aku bertanya arah jalan Curug Sawer.

Ya udah, aku berjalan mengikuti petunjuk orang itu. Semakin jauh ke dalam semakin rapat pepohonan. Sempat bertemu sebuah pertigaan namun yang jalan belok ke kanan ada sebuah gerobak diletakkan menutupi jalan, juga ada sebuah kayu yang dipasang menghalangi. Ah, pasti bukan pertigaan ini, aku menduganya. Aku melanjutkan perjalanan tapi beberapa lama tidak melihat pertigaan lagi kecuali jalan setapak aku jadi ragu. Mendekati sebuah jembatan kecil aku bertemu dengan seseorang pria tua yang berjalan dengan memanggul umbi hutan. Ternyata benar, bapak tua tadi mengatakan kalau aku terlewat jauh, seharusnya ke pertigaan yang tadi. Justru sekarang aku mengarah ke curug Cimanaracun. Tanggung, aku sekalian berjalan lurus ke arah curug Cimanaracun yang ditunjuk bapak tua tadi.

Curug Cimanaracun yang debet airnya kecil
Curug Cimanaracun ini ternyata sebuah air terjun yang debet airnya kecil saja. Padahal dengan melihat bentuk bebatuannya, andai saja debet sedikit lebih besar tampaknya menarik juga. Entah nanti kalau di musim hujan, mungkin saja debet lebih kencang. Ya sudah, walau debetnya kecil setidaknya suasananya yang sepi dan rindang enak buat sedikit bersantai sambil mengeringkan kaos yang sudah basah kuyup dengan keringat.

Aku kembali ke arah pertigaan tadi dan mulai berjalan menanjak pelan menuju ke atas. Beberapa ratus meter kemudian aku baru tahu kenapa ada terpasang penghalang di pertigaan. Sebuah pohon besar tumbang menutup jalan setapak, tampaknya pohon ini sudah cukup lama tumbang entah karena apa. Tapi rupanya pohon tumbang bukan satu saja, ada beberapa pohon tumbang yang aku temui sepanjang jalan. Setelah berjalan menyusuri jalan setapak akhirnya aku bertemu dengan jalan yang sedang diperbaiki.

Suspension Bridge yang menjadi jalur singkat ke Curug Sawer
Akhirnya aku tahu, jalan pintas dari Situ Gunung ke Curug Sawer rupanya jalur yang sudah jarang dilewati pengunjung, lebih banyak jalur ini digunakan oleh masyarakat sekitar saja. Jalur baru yang mulai dibangun rupanya langsung dari gerbang masuk menuju ke jembatan gantung. Di papan gerbang jembatan tertulis: Suspension Bridge. Melewati jembatan gantung adalah jalur tercepat ke Curug Sawer. Sayangnya saat itu jembatan gantung terpanjang di Indonesia itu belum dibuka, mungkin sekarang udah dibuka untuk umum ya.

Jembatan kayu di depan Curug Sawer
Karena jalur jembatan belum bisa dilewati aku mengikuti jalur jalan menuruni bukit yang sedang dalam pengerjaan. selain jalur trekking, di salah satu sisi sedang dibangun jalan rata yang sepertinya untuk jalur beroda. DUh tapi dengan kemiringannya bener-bener jalur ekstrim untuk bersepeda di tempat ini.

Disalah satu belokan dekat jembatan ada warung kecil. Ya udah, buat sekalian turunin napas yang agak ngos-ngosan aku mampir ke salah satu warung kecil yang buka di pinggir jalan. Semangkuk mie panas terasa nikmat saat udara dingin seperti ini.

Jembatan anyaman bambu
Setelah melewati beberapa sungai yang dipasangi jembatan dari anyaman bambu, barulah aku bisa mendengar bunyi gemuruh air terjun. Semakin dekat, hal pertama yang aku lihat adalah sebuah lapangan dengan kolam-kolam yang mengelilingi bangunan yang menjual makanan dan minuman. Selain itu juga ada sebuah bangunan yang mirip gelagar jembatan dari tiang-tiang besi yang sedang dilas oleh pekerja. Jelas itu bukan jembatan, mungkinkah itu adalah calon bangunan restoran/cafe dengan pemandangan langsung ke air terjun?

Masih jam 9 pagi, tapi air terjun Sawer telah dipenuhi pengunjung. Bukan pengunjung dari wisatawan melainkan anak-anak pramuka yang sedang melakukan kegiatan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Padahal kata penjual makanan di perlintasan jalan dari danau Situ Gunung ke air terjun Sawer bilang tidak banyak pengunjung yang lewat kesini. Kemungkinan mereka menggunakan jalur lain untuk sampai kesini. Memotret dalam kondisi seperti ini lumayan susah juga karena banyaknya orang yang berlalu lalang.


 

Balik dari Curug Sawer terus terang aku malas lewat jalan yang tadi, jadi aku memilih keluar lewat jembatan pipa air dan masuk ke perkampungan. Jalan ini yang memberitahu penjual mie rebus, katanya warga kampung sekitar biasa lewat jembatan itu jika mau ke Curug Sawer. Cocok, jalan buat wisatawan yang mau gratisan hahaha...
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya